KOREKSINEWS | HIKMAH – Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dijuluki Al Faruq karena dirinya merupakan sosok pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Ia juga dikenal dengan Abu Hafshin (Bapak Singa) karena keberaniannya. Perawakannya yang tinggi besar nan tegap, ditambah otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat serta berwajah tampan. Membuat segan siapapun orang yang menemuinya.
Di era itu, Umar adalah sosok yang paling ditakuti musuh-musuh Islam. Bahkan, bukan hanya manusia, setan pun juga ‘terbirit-birit’ lari dari pandangannya.
Tetapi sayang, banyak kalangan yang hanya membaca keteladanan Umar bin Khattab sepotong-sepotong di zaman ini. Padahal di balik sikap ketegasan dengan segala kharisma dan kewibawaannya, khalifah ke dua ini adalah sosok manusia yang sangat hati-hati dalam menghakimi dan menghukum orang lain, meskipun dengan orang yang nyata-nyata telah bersalah. Kok bisa?
Begini ceritanya, ketika Khalifah Umar bin Khattab bertemu dengan seorang pemuda yang sedang mabuk. Dengan spontan ia hendak menangkap pemuda itu dan menjatuhi hukuman sesuai aturan yang berlaku.
Tidak terima dengan perlakuan Umar, tiba-tiba sang pemuda ini memperolok Umar dengan bahasa yang tentu menyakitkan hati. Namun yang dilakukan Umar sungguh diluar dugaan. Setelah dihinakan oleh seorang pemuda tadi, ternyata Umar malah mengurungkan niatnya menangkap dan melepaskan pemuda tadi begitu saja.
Sontak, hal ini membuat seorang sahabat heran, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa pemuda itu engkau lepaskan begitu saja ketika memperolokmu?
Apa jawab Umar?
“Saya takut jika hukuman yang akan aku jalankan nanti terpengaruh oleh kemarahan yang dikendalikan oleh nafsuku. Hal ini yang akan menyebabkan penyelewengan dari aturan yang telah digariskan Allah. Tegasnya, aku tidak mengehendaki jika suatu hukuman terpengaruh dengan emosi atau bercampur dengan kepentingan pribadi.”
Dari cerita di atas, semoga semangat kita dalam ‘ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar’ benar-benar bisa tulus semata-mata mengharap Ridho Allah SWT, bukan berdasarkan nafsu amarah, apalagi dengan mencampur adukkan ambisi pribadi.(**)
Penulis: Muhammad Faishol