Bicara Perempuan Difabel, Bicara juga Kebutuhan Seksualnya

I will not be a virgin forever!”

Kalimat tersebut diucapkan secara gamblang oleh Juana, seorang perempuan difabel yang seumur hidup berada di atas kursi roda. Layaknya remaja yang sudah puber, ia pun ingin mencintai dan dicintai oleh lawan jenis tanpa memandang keadaannya yang disabilitas.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, Juana juga ingin memiliki pengalaman seksual selayaknya remaja seumurnya. Sesuatu yang biasa ia dapat hanya lewat aktivitas masturbasi.

Lalu, ia bertemu dengan Felipe, seorang remaja laki-laki lewat aplikasi media sosial. Keduanya kemudian sepakat untuk kencan buta, tanpa Felipe tahu keadaan Juana. Juana merasa berhak tak memberi tahu, karena Juana merasa sama normalnya dengan remaja perempuan seusianya.

Skenario film ini bahkan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Rosario Masjoan sendiri. Sebuah film pendek yang cukup mencuri perhatian di perhelatan Sundance Film Festival tahun ini.

Saya pun kaget dengan pilihan isu yang diangkat film ini, yaitu sexual needs perempuan remaja difabel. Selama ini, jangankan itu, isu tentang perempuan difabel secara umum saja jarang diangkat. Boro-boro mikir sesuatu yang intim seperti kebutuhan seksual mereka.

Yang banyak dibahas rata-rata kebutuhan perempuan secara umum, yang jelas jauh berbeda dengan perempuan-perempuan berkebutuhan khusus seperti mereka yang menyandang disabilitas.

Dulu, sudah galib kita menemui para perempuan difabel yang dipasung di ruangan khusus di rumah keluarganya hingga dibuatkan gubuk kecil di area pekarangan rumah. Mereka dikucilkan dari kehidupan keluarga inti. Bahkan, ketika itu banyak cerita para perempuan terpasung ini tetiba hamil atau menjadi korban perkosaan, karena tidak mendapat perlindungan dari keluarganya.

Itulah kenapa saat ada film 4 Feet: Blind Date, saya cukup senang. Meski tak menang, harapannya bisa lebih banyak lagi bermunculan film, forum, dan berbagai solidaritas yang mengangkat isu-isu tentang perempuan difabel yang selama ini termarjinalkan, bahkan oleh perempuan sendiri.

Tentu saja, ada semangat yang sama dan menyala ketika kita bicara tentang hak perempuan difabel di negeri ini. Semangat yang sama saat kita bicara tentang feminisme.

Harus diakui, sesama perempuan seringkali gagap saat berbicara tentang para penyandang disabilitas ini. Pada prinsipnya, mereka punya hak yang sama sebagai manusia dan warga negara.

Tak hanya masalah keterbatasan fasilitas dan jaminan kesehatan, yang menurut WHO dan Bank Dunia bisa menempatkan mereka dalam kondisi rentan mengalami berbagai penyakit kronis, tapi juga masalah kesehatan berupa kerusakan atau kelainan fungsi biologis, terutama bagian tulang dan syaraf. Ini yang menyebabkan mereka lebih rapuh, serta berpengaruh pada kualitas dan harapan hidup.

Belum lagi, jika bicara tentang pendidikan, keadilan hukum, dan kehidupan sosial. Tak jarang, kita masih menemui istilah ’cacat’ yang disematkan kepada para difabel. Masih banyak pula sekolah-sekolah umum yang enggan menerima mereka.

Sementara, kebanyakan dari kita menganggap bahwa perempuan difabel nggak butuh pendidikan, cukup dibekali keterampilan saja seperti menjahit guna bekal hidup. Padahal, bukankah pendidikan adalah hak semua warga negara?

Di negeri ini, perempuan sering kali dianggap sebagai warga negara kelas dua. Nah, kalau perempuan difabel tergolong warga negara kelas berapa? Sediiii.

Masih ingat kisah dokter gigi Romi Syofpa Ismael yang status kelulusan CPNS-nya sempat dibatalkan sepihak oleh Pemkab Solok Selatan karena alasan disabilitas? Padahal, perempuan difabel ini lulusan terbaik. Meski kondisinya berada di atas kursi roda, nyatanya ia mampu beraktivitas secara normal, termasuk menangani pasien gigi.

Pembatalan sepihak status CPNS drg Romi jelas bertentangan dengan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, setelah sempat terjadi polemik, Pemkab Solok Selatan akhirnya mengubah keputusannya dengan meluluskan drg Romi.

Btw, kamu mantau beritanya juga kan? Isu drg Romi ini memang tak banyak ekspos sih, tak seseksi isu perpanjangan izin FPI, seakan-akan tenggelam dalam masyarakat kita yang cenderung abai dan bias terhadap perempuan difabel.

Makanya, boro-boro bisa bebas bersuara tentang kebutuhan seksual seperti Juana dalam film 4 Feet: Blind Date. Lha wong, sekelas Angkie Yudistia saja masih dipertanyakan banyak orang ketika dia dipercaya menjadi staf khusus Presiden. Hadehh…

Padahal, alasan Presiden Jokowi mengangkat Angkie menjadi Stafsus, ya jelas karena dia punya prestasi yang nggak sedikit, meskipun ia difabel. Seperti Thisable Enterprise yang ia dirikan untuk memfasilitasi SDM-SDM penyandang disabilitas agar dapat bekerja secara vokasional dan profesional.

Tentu, itu bukan sesuatu yang mudah karena berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai keterbatasan fisik, sementara tak banyak perusahaan yang mau menerima mereka.

Itulah mengapa Angkie diganjar penghargaan Asia’s Top Outstanding Women Marketeer of The Year dari Asia Marketing Federation atas kerja kerasnya membuka fasilitas bagi para penyandang disabilitas. Itu bukan penghargaan kaleng-kaleng.

Miris, memang. Di negeri ini, para penyandang disabilitas seolah-olah dilarang bermimpi, meski untuk sekadar mendapatkan hak-haknya. Seakan-akan tak pantas mendapat perhatian secara manusiawi.

Anggapan bahwa perempuan difabel tak bisa sempurna di dapur, sumur, dan kasur masih melekat dalam pikiran sebagian besar masyarakat kita. Padahal, peran perempuan – siapapun dia – tak hanya sebatas itu. Lagian, hari gini yang punya sumur juga udah jarang, keleus. (**)

Penulis, Margaretha Diana

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *