OPINI – Proklamator kemerdekaan yang juga Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Sukarno (Bung Karno), sering memaknai Marhaen dengan lugas. Contohnya sebagai berikut ini:
“Ada sekelompok pemuda dan pemudi yang punya penghasilan karena keringatnya sendiri, dengan alat kerjanya sendiri, tapi tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Rakyat muda ini berjuang untuk kehidupannya tetapi tidak bisa membebaskan dirinya dari kemiskinan.”
Kisah sedih masyarakat Indonesia di sekitar tambang sering terdengar. Rakyat tidak berdaulat dan kalah dengan kaum kapitalis pemilik modal. Entah itu pemodal dari bangsa Indonesia sendiri atau pemodal dari negara lain. Banyak orang, termasuk mereka yang berasal dari kalangan milenial di desa tambang tetap miskin tanpa modal kerja.
Padahal, UUD 1945 telah mengamanahkan dengan tegas dalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Apakah masyarakat kampung tambang tidak bisa menikmati hasil tambang di bumi dia berpijak, di tempat dia tumbuh, atau milenial muda ini hanya bisa menonton dan berpangku tangan?
Dalam masa pemerintahan sekarang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyempurnakan UU tentang mineral dan batu bara (minerba) dengan menerbitkan UU Nomor 3 Tahun 2020. Salah satu pasal dalam beleid itu menyatakan tambang rakyat adalah bagian dari ekosistem pertambangan nasional.
Dengan UU tersebut, masyarakat kampung tambang bisa mendapatkan manfaat atas semua minerba yang ada di bawah pijakan kaki mereka. Masyarakat kampung tambang dapat mengelola wilayah tambang seluas 100 hektare dengan kedalaman tambang sampai dengan 100 meter, baik secara perorangan dengan luas maksimal 5 hektare atau seluas 10 hektare untuk koperasi desa.
Dengan kewenangan untuk bisa mengelola tambang rakyat, sudah saatnya generasi marhaen kampung tambang harus bisa lepas dari kemiskinan dengan cara menjadi penambang ulung.
Ciri khas seorang marhaen adalah selalu mau berkeringat dan bekerja keras. Tentunya keringat dan kerja keras Marhaen harus disertai dengan alat dan modal kerja yang mumpuni agar proses pencarian minerba bisa berjalan.
Modal dan alat kerja tentu harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat. Program-program kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui APBN dan APBD harus bisa menggerakkan ekonomi kampung tambang. Pemerintah harus hadir untuk marhaen tambang.
Model kemitraan penambang rakyat sudah dirintis Jokowi sejak 2015 dengan model masyarakat bisa menjadi penambang di wilayah kerja korporasi dan semua hasil tambangnya harus dibeli perusahaan pemilik izin.
Konsep kemitraan terbatas ini tidak bisa berkembang dengan cepat di banyak wilayah tambang Indonesia, karena sesungguhnya penambang rakyat memerlukan alat dan modal kerja. Dengan model ini, alat dan modal kerja selalu menjadi tanggung jawab penambang rakyat.
UU Minerba yang baru memang memfasilitasi kepemilikan izin pertambangan rakyat (IPR) untuk koperasi atau untuk perorangan. Kemudahan akan kepemilikan IPR tentunya harus diikuti dengan mencari solusi bagaimana marhaen tambang ini bisa tercipta dengan harapan para pemilik IPR ini akan meningkatkan ekonomi kampungnya.
Tidak semua pemuda ini akan menjadi penambang. Sebagian akan menjadi tenaga pendukung dalam lingkaran ekonomi di kampung tambang itu. Ekonomi kampung akan bergerak dalam lingkaran yang saling membutuhkan. Ekosistem sirkular ekonomi akan tercipta secara alami.
Salah satu cara agar marhaen tambang bisa terbentuk adalah dengan menghadirkan negara untuk mereka. Pemerintah bisa menggerakkan korporasi tambang menengah dan besar untuk menjadi bapak asuh dari marhaen milenial ini.
Kisah seorang haji di wilayah tambang emas di Timur Indonesia bisa menjadi contoh. Masyarakat diajarkan untuk mendapatkan konsesi atau IPR. Alat-alat dan modal kerja untuk para penambang marhaen ini didukung oleh bapak asuhnya dengan sistem plasma atau kerja sama produksi.
Alat dan modal kerja dipinjamkan selama marhaen tambang itu belum bisa menghasilkan dana cukup untuk mengoperasikan tambang-tambang rakyat ini.
Keringat dan kerja keras marhaen mampu meningkatkan pola hidup masyarakat. Tidak ada rasa perbedaan ekonomi dan latar belakang kesukuan ataupun perbedaan keyakinan di desa ini.
Indonesia yang berbhineka mudah tercipta dan terbentuk dengan kemitraan korporasi dengan marhaen tambang. Sistem gotong royong dan nilai humanisme ini menjadi satu kesatuan yang utuh disertai dengan rasa nasionalisme yang tinggi.
Pemerintah akan terasa hadir untuk marhaen tambang ini. Mereka yang tadinya mempunyai kesulitan dalam menggerakkan roda ekonomi tambang sekarang dapat berubah menjadi penggerak kemakmuran rakyat.
Untuk menjadikan pemerintah bisa terbebas dari birokrasi pengelolaan dan pendataan tambang rakyat ini, sistem tata kelola tambang rakyat bisa menjadi bagian dari Indonesia 4.0. Harapannya, sistem yang memadukan teknologi berbasis aplikasi pertambangan rakyat dalam jaringan telepon seluler yang tersedia di seluruh wilayah negeri kita tercinta ini dapat menjadi solusi atas permasalahan terkait tambang rakyat.(**)
Penulis: Kuntjoro
Pinardi Ahli Managerial dan Tata Kelola Pengembangan Sistem Kebijakan. Berpengalaman di sejumlah multinational company sebagai senior sales dan executive. Selalu memikirkan tata kelola yang efesien dan efektif untuk kemajuan usaha. Bekerja untuk memastikan good corporate governance (GCC) dan manajemen risiko di sektor jaminan sosial dapat terjaga. Saat ini menjabat sebagai Sekretarias Jenderal Ikatan Alumni Program Habibie dan juga mengemban amanah sebagai Anggota Dewan Pakar Gerakan Relawan Untuk Demokrasi (GARUDA).