OPINI – Kepemimpinan dengan prestasi/predikat baik merupakan ekspektasi setiap pemimpin yang masih menduduki “singgasana” pemerintahan. Bukan tanpa alasan, kepemimpinan yang berjalan lima tahun (satu periode) masih dapat mencalonkan diri kembali sebagai kontestan pemilu berikutnya. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 yang mengatur periodisasi masa jabatan presiden yakni selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan yang sama. Demikian halnya dengan kepala daerah telah dipertegas dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Sebagai petahana tentu memiliki kans untuk memenangkan kompetisi pemilu lebih besar dibanding para pesaingnya. Bukan tanpa dasar, selaku petahana (yang sedang memegang jabatan), tentu memiliki kapasitas maupun authority untuk dapat menggerakkan segala “infrastruktur pemerintahan” untuk semakin meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya. Dalam proses perjalanan kepemimpinannya, segala capaian kinerja positif ataupun kegiatan sosial kemasyarakatan (seremonial) akan disebarluaskan ke publik melalui kamera maupun media sosial oleh para buzzernya (rekayasa pencitraan).
Strategi ini tiada lain bertujuan untuk semakin mempopulerkan pribadi dari petahana guna mendapatkan dukungan politik dari rakyat agar “rapor” kinerja pemerintahan selama masa kepemimpinannya dianggap mampu dan berhasil dalam meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun sebaliknya, jika program kerja (kontrak politik) belum maksimal ataupun belum terealisasi maka sudah dapat diteka hal ini akan minim publikasi (low tranparency). Kondisi demikian semakin diperkuat ketika autokritik dalam pemerintahan hanya “berdiam diri” tak mampu berbuat apa apa sehingga kondisi negara/daerah seolah olah tampak baik baik saja.
Ketika hal hal yang menyangkut kebijakan positif dapat diramu lalu dikemas sedemikian rupa maka segala kebijakan negatif dapat dikaburkan sehingga masyarakat tidak dapat melakukan penilaian secara objektif terhadap kinerja pemerintahan. Olehnya itu para pesaing mestinya jeli dalam meredam upaya upaya tersebut (kamuflase capaian kinerja) dengan melakukan strategi politik yang efektif untuk mendorong keterbukaan informasi yang menyangkut implementasi program kerja secara akuntabel. Dengan akuntabilitas maka segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya publik akan diungkapkan dan dilaporkan pemerintah kepada masyarakat selaku pemberi mandat (Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah) sehingga praktis kompetisi pemilu akan berjalan secara “fair”.
Publik pun dapat melakukan penilaian terhadap capaian kinerja pemerintahan (petahana) selama masa kepemimpinannya. Apakah capaian kinerja dalam kategori berhasil (kebijakan positif), ataukah capaian kinerja dalam kategori stagnan (kebijakan mandek), dan ataukah capaian kinerja dalam kategori gagal (kebijakan negatif) sehingga rakyat selaku konstituen (voters) dapat menjadikan penilaian capaian kinerja tersebut sebagai “Benchmark” dalam menentukan hak pilihnya.
Oleh : Muhammad Khalid