Hasil Penelitian FAO, Pasien Positif COVID-19 Didominasi Kelas Atas

KOREKSINEWS.id – Hasil penelitian FAO pasien positi virus corona didominasi kalangan kelas atas. Pandemi virus corona kini menginfeksi hampir seluruh belahan dunia. Virus yang berasal dari Wuhan China ini penyebarannya terbilang cukup masif sehingga mengakibatkan banyaknya korban meninggal dunia. Virus corona bisa menimpa siapa saja dan melihat golongan atau usianya.

Akan tetapi, berdasarkan catatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), melalui World Food Programme (WFP), masyarakat dari kelas atas mendominasi pasien positif.

Dikutip dari Kompas.com, selisih jumlah dengan kelas lain pun terlibat cukup jauh.Mulanya, WFP mengklasifikasikan masyarakat terinfeksi virus corona ke dalam empat kelas pendapatan.

Keempatnya yaitu kelas atas (high income), kelas menengah atas (upper middle income), kelas menengah bawah (lower middle income), dan kelas bawah (low income).Data yang dihimpun WFP hingga Kamis (9/4/2020) pukul 23.59, menunjukkan pasien Covid-19 didominasi masyarakat pendapatan kelas atas dan kelas menengah atas.

Berdasarkan data kasus terkonfirmasi, WFP mencatat sebanyak 1.292.025 pasien merupakan masyarakat pendapatan kelas atas.Berikutnya, sebanyak 269.284 pasien merupakan masyarakat pendapatan kelas menengah atas.

Kemudian, sebanyak 30.672 pasien merupakan masyarakat pendapatan kelas menengah bawah dan 2.452 pasien merupakan masyarakat pendapatan kelas bawah. Klasifikasi WFP merujuk pada pembagian kelas berdasarkan tahun fiskal 2020 oleh Bank Dunia atau World Bank.

Bank Dunia melakukan penghitungan menggunakan metode Atlas Bank Dunia. Kelas bawah didefinisikan sebagai mereka yang memiliki pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar atau kurang dari 1.025 dollar Amerika Serikat pada 2018.

Kelas menengah bawah adalah mereka yang memiliki PNB per kapita antara 1.026 dollar AS dan 3.995 dollar AS. Lalu, Kelas menengah atas adalah mereka yang memiliki PNB per kapita antara 3.996 dollar AS dan 12.375 dollar AS.

Selanjutnya, kelas atas adalah mereka yang memiliki PNB per kapita sebesar 12.376 dollar AS atau lebih. Peneliti ITB mengungkap kondisi tersebut bisa terjadi dengan sejumlah syarat.

Indonesia bisa lebih awal mencapai puncak wabah virus corona setelah pemerintah mendatangkan perangkat deteksi berbasis molekuler dari luar negeri, menurut peneliti ITB. Kementerian BUMN baru saja mengimpor 20 mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) yang diklaim mampu menguji 9.000 hingga 10.000 spesimen setiap hari. Dengan alat-alat baru ini, pemerintah menargetkan untuk melakukan 300.000 tes dalam sebulan.

Nuning Nuriani, ketua Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB, memprediksi bahwa dengan jumlah tes sebanyak itu, wabah Covid-19 di Indonesia bisa mencapai puncak penyebaran pada akhir April atau awal Mei – dengan satu syarat: 90 persen masyarakat melakukan isolasi mandiri.

“Jika [Pembatasan Sosial Berskala Besar] dimulai 12 April, terus hanya 10 persen orang yang bergerak, terus pada saat periode infeksi ini PCR dan isolasinya dijalankan dengan baik, itu sebenarnya yang sangat diharapkan. Jadi puncak kasus aktifnya bisa turun lebih cepat, jumlah kematiannya juga lebih sedikit,” kata Nuning.

Namun target 300.000 tes per bulan mungkin tidak bisa segera tercapai, kata Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bidang Penelitian Fundamental Herawati Sudoyo.

Ia menjelaskan perlu waktu untuk meningkatkan fasilitas laboratorium dan melatih SDM di tingkat provinsi.

Perbanyak tes

Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan pemerintah telah mendatangkan dua mesin MagnaPure 96 dengan kapasitas 1.000 tes per hari dan 18 LightCycler PCR detector dengan kapasitas 500 tes per hari.

Mesin-mesin dari Swiss itu diklaim mampu menguji total 9.000 hingga 10.000 spesimen setiap hari; dan pemerintah menargetkan 300.000 tes dalam sebulan.

“Dengan alat ini kita harapkan Indonesia semakin bisa mendata berapa banyak orang yang terkena [virus] corona, sehingga antisipasi kita untuk menghadapi [virus] corona akan semakin baik,” ujar Arya dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Rabu (8/4/2020).

Pemerintah Indonesia selama ini dikritik karena kurangnya jumlah tes. Per Rabu (8/4/2020), Indonesia telah mengetes 14.571 spesimen, menurut data Kementerian Kesehatan.

Namun angka tersebut dianggap kecil dibandingkan populasi Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa.

Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia termasuk negara dengan jumlah virus corona terendah di dunia – hanya 52 tes per satu juta orang, menurut Worldometer.

Sebagai perbandingan, Malaysia telah melakukan 1.717 tes per satu juta orang, Singapura 11.110 tes per satu juta orang, Brunei Darussalam 20.218 tes per satu juta orang, dan Thailand 359 tes per satu juta orang.

Perlu dibarengi isolasi

Menurut Nuning Nuriani, dengan bertambahnya jumlah tes, semakin cepat kasus positif bisa ditemukan dan diisolasi.

“Artinya puncak kasus aktifnya itu bisa sangat tinggi tapi karena ditesnya lebih cepat, maka lebih dini dideteksi.”

Namun perempuan yang juga merupakan ketua tim simulasi dan permodelan Covid-19 Indonesia (SimcovID) itu menekankan bahwa peningkatan jumlah tes perlu dibarengi periode isolasi.

Sebelumnya, dengan kapasitas tes saat ini dan aturan pembatasan yang longgar – yaitu hanya 30-60 persen masyarakat yang melakukan isolasi, sementara sisanya bergerak bebas – ia memprediksi puncak wabah tercapai pada awal Juli, dengan durasi wabah 10 bulan.

Dengan dilakukannya tes secara masif, beserta aturan pembatasan ketat sehingga hanya 10% orang yang keluar rumah, puncak penyebaran wabah bisa bergeser ke akhir April atau awal Mei; tanpa pembatasan ketat, maka puncaknya hanya akan bergeser sedikit ke akhir Mei atau Juni.

Bagaimanapun, Nuning menekankan bahwa perhitungan model merupakan simulasi, bukan angka pasti yang 100% dijamin akan terjadi.

“Ini kurang lebih untuk memicu keseriusan semua pihak untuk isolasi diri sendiri dan memacu para pembuat keputusan dan sektor-sektor penting yang harusnya semua terlibat aktif untuk lebih cepat dan serius menangani segala hal ini,” ujarnya.

Presiden Jokowi telah mencanangkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran Covid-19.
Untuk memberlakukan PSBB, kepala daerah perlu mengantongi izin dari Menteri Kesehatan.

Sejauh ini, baru DKI Jakarta yang bakal memberlakukan PSBB. Gubernur Anies Baswedan mengatakan PSBB di ibu kota dimulai pada tanggal 10 April dan meliputi berbagai pembatasan kegiatan sosial, termasuk larangan berkerumun lebih dari lima orang.

Ia menambahkan bahwa warga yang melanggar aturan PSBB akan dikenai sanksi.

Tidak bisa langsung tercapai

Herawati Sudoyo dari Eijkman, salah satu laboratorium rujukan pemeriksaan Covid-19, mengatakan mesin PCR yang didatangkan pemerintah bisa meningkatkan kapasitas laboratorium dalam melakukan tes – terutama mengotomatisasi ekstraksi RNA, proses yang paling memakan waktu.

Namun menurutnya Indonesia tidak bisa segera mencapai target 300.000 tes per bulan.Ia menjelaskan Indonesia tidak seperti Amerika Serikat, yang setiap negara bagiannya memiliki laboratorium dengan tingkat keselamatan hayati yang tinggi.

Untuk melakukan tes Covid-19 diperlukan laboratorium dengan tingkat keselamatan hayati atau Biosafety minimal level 2 (BSL-2). Menurut Herawati, tidak semua provinsi memiliki kemampuan SDM dan fasilitas yang mumpuni.

“Saya kira kita nggak bisa membebani atau memberikan tanggung jawab besar begitu kepada daerah yang saya tahu sampai sekarang itu bahkan masih minta dilatih. Bahkan masih menanyakan SOP-nya apa yang kita pakai. Itu kan berarti nggak siap,” ujarnya kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon.

Maka dari itu, Herawati mengatakan bahwa penyaluran mesin PCR perlu dibarengi dengan pelatihan SDM dan pengembangan prosedur standar operasi (SOP) untuk tes virus corona. Itu juga akan mempersiapkan Indonesia untuk menghadapi wabah yang akan datang.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan laboratorium yang akan dipasangkan mesin PCR harus memiliki fasilitas yang memadai, antara lain alat tekanan negatif atau negative pressure.

“Untuk di Jakarta mudah-mudahan Minggu depan sudah bisa di-install karena ini secara teknis membutuhkan sebuah proses pembangunan yang harus terjaga, karena jangan sampai nanti virusnya itu malah menyebar ke mana-mana – sehingga [diperlukan] negative pressure, dan sebagainya.

“Kemudian di daerah pun nanti, kita akan kirim secepatnya, semoga setelah di-install maka dalam tempo dua minggu diharapkan kalau rumah sakit tersebut sudah punya negative pressure maka sudah bisa lab tersebut dipergunakan,” kata Arya.#Trbn/Komp/Red.

Tinggalkan komentar