Kursi, Izinkan Aku Protes

Bertahun – tahun aku diam disini. Diduduki tapi setitik pun aku tak pernah menuntut balas jasa. Bertahun – tahun pula orang memperebutkan diriku. Bahkan tak sedikit darah dan air mata mengalir di tanah ibu pertiwi.

Demi satu ambisi dan kekuasaan. Suara melengking menembus cakrawala. Teriak dengan gagah berani di tanah lapang.

Mereka berjoget dan menari – nari. Massa yang datang memenuhi tanah lapang. Dengan beragam pikiran dan tujuan. Ada yang datang segedar ingin melihat sang biduan ibu kota berjoget diatas panggung.

Ada pula yang datang segedar dapat uang jajan plus selembar kaos oblon yang tipis. Kadang mereka tak tahu apa itu politik. Tahunya ikut-ikutan karena diajak sang tetangga atau tim sukses.

Mereka pun ikut berteriak – teriak kegirangan karena senang. Media massa pun sibuk mengamati jumlah massa yang hadir. Judul – judul dihalaman media massa cukup bombastis.
Narasi dibangun dengan kalimat denotatif, ribuan massa tumpah ruah.

Dengan suara lantang, ” pilihlah pemimpin yang anti korupsi, anti diskriminasi”. Malamnya orang-orang yang habis teriak di arena tanah lapang pelan-pelan menyusup kedalam lorong – lorong kampung, RT, RW, hingga fajar tersenyum. Dengan senyum kemengan keluar dari gegelapan malam.

Tak ada lagi serangan subuh, tapi serangan fajar lebih terang membungkam kebebasan hati nurani. Nurani dan selera saling bekejaran. Untuk menentukan pilihan. Mendepak – depak dalam degupan jantung yang berdetak kencang. Tuhan dan bilik – bilik suara jadi saksi. Tak seorang pun tahu kemana arah suara berlabu. Hanya bisa diduga – duga.

Pikiran dan hati yang sudah mantap, kini bisa saja buyar seketika dan merubah nasib bangsa hanya karena sebungkus rokok plus lain – lain.

Pada zaman mesir kuno sekitar 3130-1070 sebelum masehi, kursi merupakan simbol kekuasaan sekaligus simbol status sosial.

Hingga sekarang penggunaan kursi pada acara – acara penting dapat dilihat. Kursi yang berada dideretan pertama biasanya berbeda bentuknya. Cerminan itu sangat kental dalam status sosial bahwa yang menduduki kursi dideretan pertama biasanya orang penting.

Kursi tak segedar tempat duduk atau perabot dalam rumah tangga. Tapi gambaran sederhana bahwa kursi mencerminkan kedudukan seseorang dalam status sosial.

Fenomena inilah seperti musik orkestra dalam instrumen nada tinggi rendah.

Meski sama – sama musik tapi tak sama iramanya karena ditentukan oleh penggubahnya atau arasemennya.

Perebutan kursi hal yang menjadi tontonan yang kerap disuguhkan dalam setiap pesta demokrasi. Pertarungan kekuasaan dalam perebutan kursi kekuasaan begitu mahal.

Melibatkan orang – orang yang tak tahu soal kursi. Mereka hanya mengendapkan emosional, fanatisme. Masalah subtansi tak lagi penting. Diruang – ruang pertarungan seakan menjadi pahlawan, rela berkorban nyawa demi fanatisme yang berlebihan.

Bersama – sama mendorong gerbong kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan. Tujuan yang sama membangun kesejahteraan rakyat. Begitu bernas terdengar ditelinga. Lalu membuncah diujung kekecewaan.

Kue kebahagian tak mampu menyentuh patriotisme dan fanatisme yang dulu. Janji indah masa kampanye hanya tinggal menggantung di atas langit.

Mereka mencoba protes ke langit tapi langit tak peduli. Kembali janji itu mengendus di tengah pesta rakyat.

Rakyat pun mulai menyusun jurus – jurus mematikan. Alam pikir mulai dijejali pikiran pragmatis. Seperti di pasar – pasar tradisional ada penjual dan pembeli.

Posis tawar begitu kencang. Tak ingin tenggelam dalam nyanyian yang menina bobokan.

Realitas sosial berbenturan dengan ideologi. Visi – misi mulai redup. Kekuatan ekonomi menembus tubuh sosial. Yang kuat makin kuat. Bertengger diatas singgasana kekuasaan. Kursi, izinkan aku protes.(**)

Oleh : Mursalim Majid
(Sekertaris SMSI Sulbar)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *