OPINI – Berhari – hari bunyi lonceng sekolah tak terdengar lagi. Dari pelosok negeri rindu belajar di sekolah – sekolah.
Rindu bersua dengan guru dan teman – teman. Bermain dan belajar seperti dulu. Menghitung dan melafalkan setiap mata pelajaran. Dari ruang – ruang kelas yang ramai oleh teman sekelas.
Hari ini, ruang – ruang kelas itu sepi. Tak ada lagi geliat disana. Kecuali rumput ilalang tumbuh di sekitar sekolah. Bunga – bunga nan indah kini mulai layu.
Belajar dari rumah mungkin tak seindah bertatap langsung dengan sang guru. Belajar dari TV mungkin tak secerdas otak menyerap setiap mata pelajaran.
Meski kecerdasan tak selamanya lahir dari sekolah – sekolah. Sebab sekolah tak hanya diajari hafalan – hafalan yang panjang. Tapi bagaimana memahami dan mengerti alam, sikap dan budi pekerti.
Pandemi global yang bernama Covid-19, memaksa kita untuk tak lagi bersekolah dan berkumpul di ruang – ruang publik.
Ruang yang selama ini sebagai tempat kita melepas kecenuhan harus dibatasi. Dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Agar rantai penyebaran covid-19 ini bisa di putus.
Kini, orang tua menjadi guru di rumah. Menjadi iman dalam shalat. Menjadi manager dalam menyeleaikan tugas – tugas kantor.
Anak – anak sekolah tak di uji lagi. Untuk menentukan kelulusannya. Karena subtansinya sekolah adalah bagaimana melahirkan anak yang berakhlak dan berbudi pekerti. Melahirkan kompetensi dan keahlian.
Melahirkan generasi yang berintegritas. Mampu membangun kemandirian dan inovasi yang tangguh.
Sebab pasar kerja hanya membidiki generasi muda yang kompetitif dan siap pakai. Sekolah tak lagi butuh teori yang panjang. Yang ujungnya akan melahirkan pengangguran yang panjang.
Meski bertahun – tahun kita mengurusi anak – anak sekolah. Menyiapkan buku pelajaran. Lalu mengantarnya ke sekolah. Siang pun kita menjemputnya ditengah terik matahari.
Siklus perputaran waktu terus mengitari waktu yang panjang. Hingga tak terasa sang buah hati kita berada di Universitas.
Lantas, mau jadi apakah sang buah hati kita? Diujung waktu penantian itu begitu lama. Akhirnya bunyi lonceng di sekolah – sekolah mungkin tak terlalu penting.
Mungkin juga tak terlalu akrab lagi ditelinga. Karena memang tak pernah terdengar lagi bunyinya. To bunyi itu tak bisa merubah nasib sang anak. Bunyi lonceng itu hanyalah satu penanda waktu masuk belajar di sekolah.
Bunyi lonceng itu mungkin masih terdengar di sekolah -sekolah di pelosok. Tapi di kota – kota besar bunyi itu sudah berintegarasi dengan tehnologi yang di sebut bell.
Pejaga sekolah tak lagi repot memukul lonceng. Cukup menekan bel dari ruang pengendali di ruang guru. Lalu murid – murid berbaris didepan kelas sebelum masuk ke ruang kelas.
Anak- anak pun duduk rapi sambil belajar. Hanya butuh waktu berapa jam belajar hingga keluar bermain dan istirahat.
Berapa jam otak sang anak mampu menyerap pelajaran. Setelah itu mungkin sang anak lupa hafalan -hafalan pelajaran.
Daya ingatan setiap anak pasti beda-beda. Memori dikepala sang anak juga tak semua sama. Ilmu menghafal berbeda dengan ilmu memahami.
Sebab menghafal rumah budi sepi dengan memahami rumah budi sepi amatlah berbeda.
Sang anak tak lagi diberi satu deskripsi tentang mengapa rumah budi sepi. Sehingga sang anak tak dirangsang otaknya berpikir inovasi dan kritis.
Namun belajar di rumah karena wabah pandemi covid-19. Satu mementum yang amat penting untuk melahirkan satu kemandirian sang anak. Totalitas orang tua mengarahkan sang anak amat subtansi untuk menentukan masa depan sang buah hati.(**)
Penulis: Mursalim Majid (Sekertaris SMSI Sulbar)