OPINI – Kini publik di Kalimantan Timur kembali dikagetkan dengan OTT Bupati PPU beserta jajarannya pada Kamis, 13 Januari 2022 di Jakarta. Seperti yang diketahui bersama bahwa bupati PPU merupakan pengusaha muda sukses dan kepala daerah dengan laporan harta kekayaan tertinggi di Kaltim diatas gubernur Kaltim. Apakah OTT oleh KPK tersebut ada hubungannya dengan ongkos politik yang selama ini dikeluarkan?
Bapak Tjahyo Kumolo yang saat itu menjabat sebagai Mendagri pernah mengungkapkan untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota dibutuhkan sedikitnya dana Rp20 miliar. Itu jumlah minimal. Ada yang sampai Rp100 miliar.
Bapak Tjahyo Kumolo memberi contoh satu rekannya waktu di DPR yang harus merogoh kocek hingga Rp40-an miliar untuk ikut Pilbub. Jadi, untuk bisa mengikuti pilkada di tingkat kabupaten/kota rata-rata para pasangan kandidat membutuhkan ongkos politik antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar.
Dibanyak negara maju, hal serupa juga terjadi. Di negara adidaya Amerika Serikat (AS), mahar politik disebut sebagai political dowry. Kasus mahar politik terpopuler di AS mencuat saat George W Bush maju pada Pilpres tahun 2000 dengan Dick Cheney sebagai cawapres. Pada tahun 2015, media massa di Korea Selatan juga menyebut koalisi Aliansi Baru (gabungan tiga partai oposisi) terbentuk berkat kedermawanan mahar politik (generous political dowry) dari pihak tertentu. Namun, semua publik di negara manapun sepakat bila mahar politik merupakan bentuk awal dari korupsi.
Korupsi politik merupakan ranah baru di dunia peradilan Indonesia. Definisi itu tidak ditemukan dalam Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi. Jika dilihat dari Teori Korupsi Politik, Robert Hodes memberikan pengertian mengenai korupsi politik sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan elite politik untuk mengejar keuntungan pribadi dengan tujuan melanggengkan kekuasaan. Sedangkan Artidjo, dkk. merumuskan korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan politik. Korupsi politik terjadi dalam berbagai bentuk kegiatan kriminal dan praktik – praktik kotor yang dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah menjabat sebagai pejabat publik.
Korupsi politik merupakan penghalang bagi transparansi dalam kehidupan publik. Korupsi politik akan menghilangkan transparansi dalam kehidupan publik. mengurangi kepercayaan politisi dan partai politik sehingga menantang nilai demokrasi (Hodes, Intro to political Corruption).
Korupsi politik memiliki tujuan untuk menggalang dana untuk kepentingan pemenangan pemilu dan mempertahankan kekuasaan. Apalagi biaya politik untuk meraih kekuasaan melalui pemilu sangat mahal. Uang menjadi sumber daya utama karena paling mudah dikonversi menjadi sumber daya lain yang diperlukan untuk memenangi pemilu.
Keberadaan peraturan keuangan partai politik dalam Undang – Undang (UU) 31 Tahun 2002 yang berganti menjadi UU 2 tahun 2008 kemudian diubah menjadi UU 2 Tahun 2011 seakan tidak mempunyai arti apa – apa, hal ini karena ketiadaan pasal mengenai keharusan bagi partai politik untuk membuat laporan keuangan dengan standar tertentu serta ketiadaan sanksi tegas yang menyebabkan banyak kasus korupsi yang melibatkan elite – elite politik, baik legislatif maupun eksekutif dimana tujuan mereka adalah mencari dana untuk memenuhi kebutuhan keuangan partai politik, dan tampaknya masih adanya mahar dari kandidat yang bakal bertarung dalam pilkada atau pemilu.
Mahar politik adalah pelanggaran dalam Undang-undang Pilkada. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Mahar politik akan menghasilkan kesepakatan semu antara pemberi donasi dan penerima donasi. Kesepakatannya tidak melulu terbatas pada tiket. Pada banyak kasus, masih ada beberapa hal yang harus dipenuhi sang calon sebagai tindakan balas budi jika berhasil keluar pemenang pemilu.
Jika praktik itu melibatkan korporasi atu cukong sebagai donatur sang calon. Maka akan tercipta efek domino yang saling menguntungkan antara calon, parpol dan korporasi, namun sangat merugikan keuangan negara dan kedaulatan rakyat.
Banyak pakar hukum dan pakar politik menuding mahar politik sebagai biang dari maraknya kasus korupsi kepala daerah. Biaya politik yang tinggi akan membuat kepala daerah terpilih sibuk mengembalikan modal sepanjang masa jabatannya.
Sehingga mewujudkan dunia politik yang bebas dari “kotoran” akan terasa berat, namun perlu diupayakan menjaga agar tingkat kekotoran itu masih bisa diterima akal sehat dan tak merusak. Banyak hal bisa diterapkan, termasuk membatasi biaya kampanye, mendorong transparansi keuangan partai, memberikan bantuan dana melalui APBN, memberikan sanksi yang tegas dan lain sebagainya.(**)
Oleh Eric Mangiri (Penyuluh Anti Korupsi)