Sebaiknya kita berhenti terpaku pada akrobat politik para politikus dan menuntut mereka berbicara tentang kebijakan konkret. Kalau tidak, pemilihan presiden hanya ajang para elite berebut kuasa, bukan kepentingan umum.
Secara perlahan kita sedang mendekati puncak periode pemilu, ditandai oleh semakin gesitnya para politikus Indonesia menunjukkan bidang keahlian utama mereka: berakrobat secara politik.
Dalam musim akrobat politik ini sudah banyak diberitakan mengenai kemungkinan perubahan dalam koalisi politik yang mendukung calon presiden (capres) tertentu; atau mengenai individu tertentu yang menyeberang untuk mendukung capres yang baru kemarin hari ditolaknya.
Aksi akrobat politik terakhir yang menarik perhatian adalah Muhaimin Iskandar disandingkan dengan Anies Baswedan sebagai calon wakil presiden (cawapres) koalisi politik— dengan partai yang dipimpin Muhaimin bahkan bukan merupakan anggota.
Akan tetapi, pengalihan dukungan seperti ini jarang sekali disertai alasan yang berkaitan dengan kebijakan, melainkan pernyataan normatif tentang bagaimana salah seorang capres (atau kemungkinan cawapres) konon berkepribadian tegas, atau merakyat, atau bermoral, dan sebagainya.
Pembeda antar capres
Sangat sedikit pembicaraan mengenai perbedaan substantif dari para calon dalam hal kebijakan di berbagai bidang yang penting untuk kehidupan rakyat dan bernegara. Sebab, logika akrobat politik memang diarahkan oleh dua hal saja: (1) popularitas calon menurut hasil jajak pendapat terakhir; (2) prospeknya dalam membuka peluang kontrol atau akses pada kekuasaan dan sumber daya negara jika muncul sebagai pemenang.
Dalam sejarah Indonesia, kontrol dan akses pada kuasa dan sumber daya publik tidak jarang menjadi sarana untuk menjalankan akumulasi modal privat, karena adanya kedekatan hubungan kalangan politik, birokrasi, dan bisnis.
Terlepas dari retorika para pendukung yang terkadang berapi-api, sampai sekarang jarang muncul diskusi serius tentang perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat prinsip.
Akibatnya, rakyat masih sukar menakar perbedaan di antara para capres. Terlepas dari retorika para pendukung yang terkadang berapi-api, sampai sekarang jarang muncul diskusi serius tentang perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat prinsip.
Sudah sejak dulu ketiadaan masalah prinsip di tataran ide, kebijakan, atau program dalam diskursus politik kita memudahkan para politikus berpindah-pindah partai, bahkan ada yang sudah melakukannya beberapa kali.
Oleh karena itu, terlepas dari pengalaman polarisasi masyarakat yang terutama menandai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terdahulu, sebetulnya tidak banyak faedahnya untuk membedakan aktor atau partai berdasarkan kedekatan pada aliran ”nasionalis” atau ”Islamis”, misalnya.
Walaupun label tersebut memberikan pertanda tentang asal-usul jaringan politik mereka, toh retorika capres atau cawapres dapat berubah sesuai dengan kebutuhan sesaat. Retorika bisa berubah cepat karena koalisi-koalisi politik cenderung dibentuk berdasarkan pertimbangan kontrol dan akses pada sumber daya publik—bukan persamaan atau perbedaan mendasar dalam gagasan ataupun kebijakan, kecuali mungkin di tingkat sangat umum.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa hampir semua tindakan yang kelak dilakukan siapa pun yang menjadi pemenang pilpres akan berdampak terhadap kehidupan rakyat, bukan saja berpengaruh terhadap peluang membangun aliansi politik-birokratis dan bisnis baru—dari pusat hingga daerah.
Oleh karena itu, rakyat berhak menuntut kejelasan dari para capres dan koalisi partai di sekitar mereka tentang apa yang hendak mereka lakukan—di bidang kesehatan, lapangan pekerjaan, pendidikan, lingkungan hidup, penanggulangan korupsi, penyediaan pangan, energi, dan sebagainya.
Sebelum kisruh tentang Anies-Muhaimin, contoh aksi akrobat politik yang paling gamblang dapat dilihat dalam merapatnya sebagian besar mesin politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan kelompok-kelompok yang menyatu dalam koalisi Prabowo Subianto, sambil menjauh dari Ganjar Pranowo. Padahal, Ganjar adalah calon partai tempat Presiden Jokowi bernaung.
Di lain pihak, kita tentu masih ingat bagaimana para pendukung Jokowi dan Prabowo terlibat bentrok fisik sekitar Pemilu 2019, sampai ada yang meninggal, karena fanatisme terhadap pemimpin yang mereka elukan.
Namun, perbedaan di antara kubu kedua tokoh tersebut ternyata dengan mudah sirna ketika Prabowo menyetujui masuk pemerintahan Jokowi sebagai menteri pertahanan, hal yang mungkin sempat membingungkan sebagian pendukung fanatik keduanya. Bahkan sekarang Prabowo berikhtiar untuk meneruskan semua kebijakan pemerintahan Jokowi jika terpilih menjadi presiden, seakan-akan persaingan keras di antara mereka tidak pernah terjadi.
Rekayasa politik elite
Boleh jadi polarisasi masyarakat yang seakan-akan begitu serius pada tahun 2019—hingga bisa terjadi pertikaian di antara teman dan tetangga, bahkan di dalam keluarga—sebagian besar merupakan hasil rekayasa politik elite, termasuk pasukan buzzer dan para pembentuk opini lainnya. Pasukan ini pun sudah sibuk bekerja lagi di media sosial dan forum lain untuk mendukung aksi-aksi terbaru para ahli akrobat politik.
Padahal, banyak persoalan konkret yang dihadapi Indonesia. Walaupun angka kemiskinan absolut sudah ditekan, diketahui bahwa satu persen rakyat Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan yang ada di negeri ini, suatu hal yang kurang tecermin dalam instrumen seperti indeks gini.
Beberapa tahun lalu bahkan dikabarkan empat orang terkaya di Indonesia mempunyai kekayaan yang setara dengan 100 juta orang termiskin.
Walaupun angka kemiskinan absolut sudah ditekan, diketahui bahwa satu persen rakyat Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan yang ada di negeri ini, suatu hal yang kurang tecermin dalam instrumen seperti indeks gini.
Kita mengetahui, kondisi sosial-ekonomi setiap orang pasti berpengaruh terhadap peluang yang kelak akan ditemuinya dalam menjalani kehidupan.
Ketidakmerataan yang tajam melanggengkan ketidakadilan sosial secara struktural sehingga cenderung merugikan bagian-bagian masyarakat yang termiskin. Akibatnya bisa bermacam-macam dan kadang kala tak terduga. Kita sudah melihat bahwa kaum miskin adalah yang paling menderita akibat pandemi Covid-19, misalnya, karena tidak mungkin bekerja di rumah.
Dengan kata lain, sebaiknya kita berhenti terpaku dengan atraksi akrobat politik yang disuguhkan para politikus dan menuntut mereka berbicara tentang kebijakan konkret. Kalau tidak, pemilihan presiden hanya menjadi ajang buat menentukan elite mana yang paling mempunyai akses pada kuasa dan sumber daya publik, tetapi bukan untuk kepentingan umum.(**)
Penulis: Vedi R Hadiz, Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute pada Universitas Melbourne, Australia