Netralitas PNS dalam Pemilu

OPINI, KOREKSINEWS – Political War adalah suatu keniscayaan yang tak terhindarkan ketika memasuki tahun politik. Tahun politik merupakan “critical period” dalam menumbuhkan maupun mengembalikan kepercayaan masyarakat selaku pemilih (konstituen).

Dimana kubu petahana maupun kubu pesaing saling adu strategi dalam rangka pemenangan kompetisi pemilihan umum (Pemilu) yang akan datang. Pada masa kritis inilah peran “oknum PNS yang berpolitik praktis” (penulis menggunakan kata oknum karena tindakan yang dilakukan bersifat personal/perorangan bukan atas nama instansi) akan muncul dan “bermain” baik secara terang terangan, diam diam, maupun bermain dua kaki (berada diantara kubu petahana dan kubu pesaing).

Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Korps Jiwa dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, “PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik”. Ketentuan dan larangan tersebut merupakan kewajiban yang harus dipatuhi oleh PNS selaku “public servant”.

Ketika perhelatan kompetisi Pemilu telah usai, penetapan/pengesahan pemenang sudah dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan prosesi pelantikan telah dilaksanakan maka peralihan atau pelanjutan kekuasaan pun telah dimulai. Hal yang lumrah kita jumpai adalah adanya pelaksanaan mutasi di instansi daerah (perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota) dengan dasar pertimbangan “penyegaran” birokrasi. Mutasi merupakan pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain.

Sudah menjadi public secret, dalam pengisian jabatan pada pelaksanaan mutasi di dalam atau antar perangkat daerah akan muncul praktik spoils system yang bertolak belakang dengan merit system. Spoils system merupakan praktik yang dilakukan oleh pemerintah yang baru terpilih untuk memberi penghargaan kepada para pendukungnya dengan penunjukan ke kantor pemerintah (kamus kata asing 2008, diagram visual information limited), sementara merit system adalah proses mempromosikan dan merekrut pegawai pemerintahan berdasarkan pada kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan, bukan pada koneksi politik mereka (monitoring merit, institute of public administration of canada).

Salah satu perwujudan dari spoils system adalah kehadiran “political positon” pada instansi daerah. Political position merupakan kedudukan politis pada seseorang atas jasa jasanya dalam pencapaian tujuan politik. Ketika jabatan politis “dipaksakan” pada pelaksanaan mutasi di dalam atau antar perangkat daerah maka akan menjadi pertentangan dikalangan masyarakat ketika pejabat yang diberi mandat tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap prilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya (PP Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan PNS).

Political position sulit untuk dinafikan keberadaannya disebabkan kesuksesan dalam “perang politik” (political war), “oknum PNS yang berpolitik praktis” memiliki peranan penting dalam kompetisi pemilu (information and public servant). Ketika informasi dan pelayanan publik dipolitisasi maka akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat selaku konstituen.

Praktik politisasi acap kali ditemukan ketika memasuki tahun politik (tahapan Pemilu). “Oknum PNS yang berpolitik praktis” akan berupaya mempolitisasi setiap bentuk kegiatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tujuan penggiringan “voters”.

Misal ketika ada informasi tentang bantuan atau semacamnya maka dengan mempolitisasinya, informasi tersebut tidak transparansi untuk semua masyarakat yang membutuhkan melainkan hanya orang orang tertentu saja yang diberitakan. Demikian pula pada pelayanan publik, pelayanan diprioritaskan bagi orang orang yang sepaham dipihak yang sama. Tindakan “berani” (berpolitik praktis) oknum PNS tersebut tiada lain adalah demi memenangkan kandidat tertentu.

Kontribusi, partisipasi, dan loyalitas yang tinggi tentu mendapat appreciation yang layak (hubungan pertukaran berdasarkan kontrak politik). Weingrod (1968) menyebut hubungan tersebut sebagai patronage atau adanya hubungan quid pro quo antara partai yang berkuasa dan politik pendukung, di mana pekerja sektor publik digunakan sebagai hadiah dan ditukar dengan dukungan politik. Patronase merupakan “distribusi sumber daya material untuk tujuan tertentu dan memberikan manfaat politik, dan secara khusus sumber daya material didistribusikan melalui jaringan klientelistik yang berbasis pada relasi kekuasaan personal” (Aspinall, 2013).

Oleh : Muhammad Khalid
Penulis tinggal di Sengkang Kabupaten Wajo

Tinggalkan komentar