KOREKSINEWS.id – Perdebatan antara musisi Jerinx SID dan presenter Aiman dalam sebuah acara berita ramai diberitakan. Keduanya berdebat soal ada tidaknya konspirasi terkait penyebaran Corona virus disease atau COVID -19 di sejumlah belahan dunia.
Drummer band Superman Is Dead (SID) ini mengatakan, letak konspirasi tersebut ada pada angka kasus COVID-19 yang terlapor hingga saat ini.
Jerinx SID menilai bahwa angka-angka tersebut bukanlah jumlah yang sebenarnya.
“Konspirasinya adalah banyaknya angka yang tidak sebenarnya, permainan-permainan angka jumlah korban,” kata Jerinx dalam acara Sapa Indonesia Malam yang dipandu oleh Aiman di Kompas TV, Rabu (6/5/2020) seperti dikutip dari Tribunnews.com
Menurut Jerinx SID, alat tes Covid-19 yang ada saat ini tidak terjamin keabsahannya. Ia beralasan, para ilmuwan di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa masih belum sepakat mengatakan kevalidan alat tes tersebut.
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang hasil swab test-nya positif namun menjadi negatif setelah diperiksa kembali. Kendati demikian, Jerinx menilai ini jarang diungkap oleh media mainstream.
“Swab test dan rapid test itu hasilnya tidak valid,” kata Jerinx.
“Itu banyak menimbulkan kesimpangsiuran informasi tapi media selalu dengan gampangnya membawa narasi jika swab test itu hasilnya sudah 100 persen,” ucapnya.
“Sedangkan ilmuwan-ilmuwan di negara maju, yang jauh lebih pintar daripada ilmuwan di Indonesia, mereka aja belum satu suara, tapi kenapa Indonesia begitu takut sama WHO?,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mengklaim pihaknya memiliki data di balik tudingannya yang menyebut COVID-19 sebagai konspirasi.
“Ada,” kata Jerinx saat ditanya oleh Aiman apakah memiliki data di balik tudingannya.
Menurut Jerinx, ia memiliki bukti-bukti mengapa ada banyak kebetulan yang terjadi hingga membentuk suatu pola
Ia mengatakan, jika melihat dari sejarah Rockefeller dan Bill Gates, mereka telah mensimulasikan sebuah bencana yang persis dengan keadaan saat ini.
“Saya punya bukti kenapa terlalu banyak kebetulan dan tidak ada kebetulan di dunia ini yang terjadi terus menerus, kalau terus menerus itu bukan kebetulan namanya, itu namanya pola,” kata Jerinx
“Jadi kalau kita nyari sejarahnya Rockefeller, Bill Gates, mereka sudah sangat sering membicarakan hal ini, salah satunya ada event 2.0.1, mereka mensimulasikan bencana ini terjadi persis yang terjadi sekarang, itu bisa dicek di semua platform informasi,” sambungnya.
Bahkan, menurut Jerinx, dalam dokumen Rockefeller terdapat sebuah skenario yang menyebutkan secara persis bahwa China menjadi wilayah pertama yang memberlakukan lockdown.
“Lalu ada yang namanya dokumen Rockefeller itu diterbitkan 2010 dimana tim Rockefeller bekerjasama dengan Bill Gates membuat sebuah dokumen, membuat skenario tentang bagaimana situasi sekarang ini terjadi dan di sana disebutkan persis kota pertama yang akan memberlakukan lockdown adalah China lalu kota-kota lain akan menirunya,” ujar Jerinx.
“Lalu ketika lockdown dilakukan akan terjadi proses integrasi, integrasi semua sistem,” tambah dia.
Menurutnya, apabila orang-orang mengikuti rangkaian peristiwa yang terjadi di dunia ini dan menggalinya lebih dalam lagi maka mereka akan menemukan nama yang sama muncul berkali-kali.
“Hal-hal yang terjadi sekarang termasuk Bom Bali, kejadian 911, semua itu saya rangkai, saya pertemukan titik-titiknya karena banyak banget ada dot-dot yang orang kalau tidak terlalu mengikuti mungkin mereka akan mikir oh ini cuma ilmu cocoklogi,” kata Jerinx.
“Tapi kalau Anda gali lebih dalam lagi, kamu sambungkan semua titik-titik fenomena-fenomena yang membuat dunia ini berubah secara global, itu nama yang sama akan muncul berkali-kali,” tambahnya.
Sementara itu, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, membantah pernyataan Jerinx tersebut.
Menurut Hermawan, sejauh ini para peneliti melaporkan hasil dari swab tenggorokan melalui realtime PCR memiliki keakuratan 96 persen.
“Sejauh ini, para peneliti untuk swab tenggorokan melalui realtime PCR itu menganggap 96 persen hasilnya valid,” kata Hermawan dalam acara yang sama.
“Agak berbeda dengan rapid test, kalau rapid test itu memang false negatifnya tinggi itu sekitar 36 persen efektivitasnya,” tambah dia.
Kendati demikian, Hermawan mengatakan rapid test penting untuk melakukan penelusuran awal.
“Tapi, rapid test penting untuk mitigasi penelusuran awal untuk lebih private dalam rangka pendeteksian mereka dengan Covid positif,” terangnya.
Menurutnya, apabila orang-orang mengikuti rangkaian peristiwa yang terjadi di dunia ini dan menggalinya lebih dalam lagi maka mereka akan menemukan nama yang sama muncul berkali-kali.
Jerinx Sempat Imbau Masyarakat untuk Tidak Tes COVID-19
Sebelumnya, Jerinx sempat mengunggah tulisan di akun Instagram pribadinya pada Senin (4/5/2020).
Dalam unggahannya, ia mengimbau masyarakat supaya jangan pernah mau untuk dites COVID-19. Jerinx pun berpesan pada masyarakat supaya lebih fokus menyembuhkan penyakitnya dengan cara biasa.
Jerinx menilai, semakin banyak yang mau untuk melakukan tes Covid-19 maka sama saja memuluskan Bill Gates dalam memonopoli dunia.
“Jangan pernah mau dites CV.Makin banyak yang mau dites hanya akan memuluskan agenda BG memonopoli dunia.Jika anda sedang sakit, jangan mau dites CV.Fokus sembuhkan sakit anda dengan cara biasa yang sesuai dengan penyakitnya. Yang jauh lebih bahaya dari CV adalah ketika BG (pemilik mayoritas saham farmasi global) mengendalikan apa yang ada di dalam tubuh anda,” tulisnya.
Ketua Satgas COVID-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp. PD, menanggapi perihal unggahan musisi Jerinx SID yang mengatakan agar jangan pernah mau melakukan tes COVID-19.
Ia mengatakan, tes COVID-19 justru semestinya dilakukan sebanyak mungkin untuk memutus rantai penularan.
“Itu tidak tepat karena tes Covid sebanyak mungkin itu yang harus dikerjakan oleh seluruh negara manapun untuk memutus rantai penularan,” kata Zubairi dikutip dari Tribunnews.com, Selasa (5/5/2020) pagi.
Zubairi menerangkan, dengan dilakukannya tes COVID-19 maka pasien positif akan ditemukan. Dengan begitu, pasien tersebut dapat segera diisolasi sehingga tidak menularkan virus yang dibawanya.
“Kemudian dilakukan telusur kontak, teman-teman (pasien) yang positif itu juga diperiksa, yang positif kemudian diisolasi atau dikarantina,” kata Zubairi.
“Dengan cara itu, penularan akan sangat berkurang dan berhenti,” tambahnya.#Tribun/Red