SIGI – Tidak seperti biasanya kali ini proses belajar mengajar di Sekolah Adat hanya di hadiri oleh dua orang anak peserta belajar.
Menurut Fendi, teman-temannya yang lain pergi bermain ke hutan dekat pemukiman mereka di Desa Tuva,Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Minggu (28/7/2019)
Menurutnya bahwa ia sering pergi ke hutan dan teman-temannya untuk bermain. Walaupun hanya dua orang,Fendi dan Rife tetap terlihat semangat dalam proses belajar.
Dalam bahasa da’a Fendi mengatakan bahwa “Ri Kondo da’a ria kami no belajar” (di Kondo tidak pernah kami belajar)
Kondo yang Fendi maksud adalah tempat pemukiman mereka sebelumnya. Walaupun hanya dua orang mereka tetap semangat, sesekali mereka tertawa apabila ada hal yang lucu atau di suruh maju kedepan.
Mereka diajarkan huruf latin, A sampai Z Selain membaca mereka juga menuliskannya di papan.
Itulah pendidikan alternatif (Sekolah adat) tidak ada paksaan dan harus menyesuaikan dengan peserta belajar. Tujuan dari Sekolah adat ini adalah untuk mengajarkan anak-anak pentingnya menjaga Kearifan lokal.
Terkait pembelajaran tentang membaca, menulis dan menghitung (calistung) juga tetap menjadi kebutuhan dasar peserta belajar.
Karena hal demikian seringkali mereka dapatkan dalam interaksi mereka dengan orang-orang luar komunitas tersebut.
Selain pergi ke hutan ada pula yang menjaga adik mereka.
Seperti Delina Seorang anak perempuan yang sering mengikuti pembelajaran di sekolah adat.
Dirinya terlihat menggendong seorang bayi yang usianya tidak kurang dari satu tahun.
Ia mengatakan bahwa dirinya belum bisa ikut belajar bersama teman-teman karena masih menjaga adiknya. Jal itu sudah sering ia lakukan jika orang tuanya lagi sibuk mencuci, pergi ke ladang dan lainnya.
Selain itu, yang membuat anak-anak tidak banyak hadir karena biasanya proses belajar-mengajar dilakukan pada hari sabtu sekitar pukul 20.00 WITA (setelah ibadah). tiba-tiba berubah menjadi hari minggu, seperti saat ini.
Hampir 30 menit pembelajaran anak-anak yang lain datang ke gereja tempat kami belajar. Jumlah anak yang baru saja tiba sebanyak 10 orang, jadi total anak-anak yang ada sebanyal 12 orang.
Dalam pembelajaran ini mereka menuliskan nama masing-masing di papan tulis.
Ada yang canggung untuk maju kedepan, walaupun demikian mereka tetap maju.
Delina yang tadinya menjaga adiknya kini ia bergabung dengan teman-temannya untuk belajar. Ia nampak tersenyuk ketika disuruh maju kedepan.
Begitupun Novi, ia menuliskan namanya. Umumnya Novi adalah nama seorang perempuan tetapi di komunitas adat ini, Novi adalah seorang anak laki-laki.
Tetapi ia adalah salah seorang anak yang menurut penulus cepat merespon apa yang disampaikan.
Selain menulis nama, mereka diajar membaca. Ada tulisan yang mereka baca di papan itu.
“Aku Topoda’a.” Tulisan mereka baca, yang artinya adalah Saya Orang Da’a.
Makan dari tulisan ini adalah mengajarkan mereka untuk mengenal jati dirinya dan asal-usulnya.Sekolah adat ini mengajarkan mereka agar mencintai komunitasnya dan harus berani mengatakan ke orang-orang bahwa mereka adalah Topoda’a (orang Da’a).
Aku Topoda’a bermakna sebagai pengakuan diri peserta belajar terhadap identitasnya.
Penulis: Arman Seli
Pegiat Masyarakat Adat