“Relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan”.
(James Pollock, 1920)
OPINI – Money politic seolah olah sudah mendominasi perpolitikan di negeri kita. Begitu kuatnya praktik ini hingga sedikit demi sedikit dapat menggerus/menggeser nilai nilai integritas maupun kompetensi yang sejatinya dijadikan bencmark dalam memilih pemimpin/wakil rakyat (eksekutif dan legislatif).
Siapa sesungguhnya yang keliru dalam hal ini?
Apakah masyarakat (awam) selaku pemilih yang sudah berfikir pragmatis ataupun bersikap apatis terhadap proses berdemokrasi itu sendiri sehingga menempuh langkah “pembiaran” terhadap money politic sebagai bentuk ekspresi ketidakpercayaan (crisis of trust) terhadap pemimpin/wakil rakyat yang terpilih akibat janji politik yang tidak terealisasi lalu kemudian membentuk kelompok “pro money politic” dengan memunculkan jargon jargon politik “ADA UANG, ADA SUARA”, ataupun “DISINI MENERIMA SERANGAN FAJAR”.
Ataukah para elite politik melakukan “pembiaran” politik uang agar partisipasi pemilih tinggi dalam menggunakan hak pilihnya sehingga hasil pemilu dinilai berkualitas di mata rakyat (kamuflase demokrasi politik) sebagai upaya meredam gerakan kelompok golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak pilihnya akibat crisis of trust terhadap kandidat pemilu yang dianggap tidak mampu merepresentasikan kepentingan mereka.
Dan ataukah partai partai politik (parpol) selaku pengusung kandidat lebih mengedepankan ego sentris politik sehingga semuanya dapat dilakukan secara praktis ataupun instan demi meraih suara/kursi terbanyak dengan melakukan politik uang.
Tidaklah elok jika kemudian kita saling mengelirukan dalam hal ini, namun sebagai motor demokrasi kita pun tidak boleh berdiam diri, berpangku tangan menanti keajaiban praktik ini akan sirna dengan sendirinya.
Stakeholder yang terkait semestinya dapat berkontribusi positif dalam menyukseskan pemilu yang bermartabat. Organisasi kepemudaan, organisasi kemasyarakatan, NGO (non governmental organization), media massa atau Pers, badan kesatuan bangsa dan politik (Kesbangpol), pemuka agama, tokoh masyarakat, maupun para akademisi melalui dunia kampusnya dapat berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat (politik dalam pemikiran non politik praktis) dalam hal bagaimana memilih pemimpin/wakil rakyat secara demokratis.
Dan sesungguhnya yang paling diharapkan untuk “memutus mata rantai” praktik ini adalah badan pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara yang diberi tugas dan wewenang oleh negara selaku pengawas pemilu (mencegah praktik politik uang) dengan harapan masyarakat (awam) selaku konstituen tidak akan mudah menerima pemberian dalam bentuk apapun dari kandidat pemilu yang berupaya melakukan money politic untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).(**)
Oleh : Muhammad Khalid