UU HKPD Tantangan Baru Sulbar

OPINI – Revisi rancangan UU Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) resmi disahkan DPR-RI tanggal 7/12/2021. Revisi UU ini merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan ke DPR. Pengesahan rancangan UU ini tampak berjalan lancar. Meski terdapat salah satu fraksi menolak pengesahan revisi UU ini.

Menteri keuangan Sri Mulyani dalam keterangannya menyampaikan alasan pengajuan revisi UU HKPD. Dikatakan, pemerintah telah melakukan evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal selama ini. Hasil evaluasi itu menunjukan pengelolaan keuangan di daerah tidak dapat dijalankan secara optimal, sehingga diperlukan perbaikan menyeluruh. Ia melihat peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah dan dana desa (TKDD). Meski peningkatannya cukup besar dari 523 triliun tahun 2013 meningkat ke 795 triliun ke tahun 2021, tetapi dana tersebut tidak dapat dioptimalkan oleh daerah.

UU HKPD sendiri mengatur beberapa hal. Berupa belanja pegawai tidak bisa lagi besarannya melampaui 30 persen dari seluruh anggaran dalam APBD. Begitu juga belanja infrastruktur angkanya minimal 40 persen. Pajak daerah dipangkas dari 17 jenis menjadi 14 jenis. Jenis retribusi dikurangi dari 32 jenis menjadi 18 jenis.

Apapun setelah disahkannya UU ini, daerah tentu menghadapi konsekwensinya. Provinsi Sulawesi Barat, begitupun dengan ke enam kabupaten antaranya, membutuhkan penyesuaian searah pemberlakukan UU ini. Pengaturan secara ketat seperti disebutkan, berkaitan belanja operasional termasuk batas minimal belanja infrastruktur. APBD Sulbar misalnya dengan pengaturan ini mengharuskannya menekan belanja opersionalnya dan menaikan prosentase belanja modal (infrastruktur).

Konsekwensi utama bagi provinsi Sulawesi Barat, dengan mereviuw postur APBD yang dimiliki daerah selama ini, rata-rata dominan dengan belanja operasional termasuk dengan belanja pegawai. Antara belanja operasional mengalami gap lebar dengan belanja modal ke masyarakat. Sumber pembiayaan kepada kedua kelompok belanja ini secara akut hanya mengharapkan transfer pusat dan sedikit sekali dari sumber pendapatan asli daerah.

Belanja operasional berbeda dengan belanja modal. Belanja operasional bersifat konsumsi (dipakai habis). Sementara belanja modal memiliki nilai investasi dalam menunjang terbentuknya pemupukan modal di daerah. Gap lebar antara belanja operasional dengan belanja modal seperti tampak mendominasi dalam APBD, secara otomatis tidak memungkinkan tumbuhnya infrastruktur ekonomi di daerah. Sehingga untuk menjalankan pungutan pajak daerah berikut restribusi menjadi sulit atau kehilangan potensi.

Bahwa pemberlakuan UU HKPD bagi Sulawesi Barat, termasuk sekali lagi semua kabupaten di wilayah ini, setidaknya menghadapi beberapa tantangan yang harus segera dijalankan. Antara lain, secepatnya melakukan penyederhanaan terhadap belanja operasional birokrasi. Dengan kesungguhan serta usaha keras mengurangi belanja yang tidak berkaitan dengan pemupukan modal daerah. Makna pembatasan anggaran belanja pegawai dalam UU HKPD ini, dapat dipahami sebagai pembatasan belanja operasional secara umum. Dalam konteks ini, diperlukan kebijakan untuk merestrukturisasi sistem pemberian tunjangan, honor dan penggajian yang tidak dapat diukur relevansinya dengan kinerja birokrasi.

Berikutnya melakukan kerja simultan untuk menaikan sumber pendapatan daerah. Membandingkan sumber PAD Sulbar baru mencapai kurang lebih 17 persen dari sumber pendapatan yang ada, berdasarkan asumsi belanja pegawai saja dengan batas maksimal 30 % maka sumber pendapatan PAD sejatinya berada pada angka 30 % di luar dari transfer pusat. PAD yang masih sangat kecil, apalagi wilayah kabupaten, mengharuskan daerah ini untuk serius dengan usaha menaikan PAD.

Menaikan PAD butuh strategi. Dari sekarang perlu usaha ekstensifikasi, intensifikasi pendapatan. Menemukan sumber pendapatan baru serta mengoptimalisasi sumber pendapatan yang ada. Tentu banyak strategi untuk menaikan PAD, termasuk melakukan penguatan kelembagaan. Restrukturisasi organisasi sesuai kebutuhan daerah merupakan cara meningkatkan pendapatan daerah.

Sulawesi Barat dengan UU ini, dalam konteks sebagai tantangan (ancaman atau peluang?) antaranya dapat memilih dengan solusi, menekan biaya operasional semaksimal mungkin dan berusaha keras menaikan pendapatan asli daerah (PAD).

Usman Suhuriah
Wakil Ketua DPRD Sulbar I Fraksi Golkar

Tinggalkan komentar